Kamis, 31 Mei 2012

KRISIS EROPA, Asia Dapat Terkena Imbas


NEW HAVEN: Para pemimpin negara-negara di Asia patut berpuas diri pascaberakhirnya krisis keuangan 2008-2009. Pertumbuhan di kawasan itu melambat tajam seperti perkiraan bahwa perekonomian yang dimotori oleh ekspor akan mengalami keruntuhan terparah dalam perdagangan global sejak 1930-an.
 
Akan tetapi, dengan pengecualian Jepang yang mengalami resesi terdalam di era modern, Asia telah melalui periode yang luar biasa sulit dengan kondisi yang sangat baik.
 
Hal itu telah berlalu. Asia untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari 4 tahun kembali dihadapkan dengan guncangan besar atas turunnya permintaan eksternal yang kali ini berasal dari Eropa. Krisis utang di kawasan itu dapat mengubah resesi ringan menjadi lebih buruk jika Yunani keluar dari eurozone. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menular ke negara-negara pengguna mata uang euro lainnya. Ini merupakan masalah besar bagi Asia.

Hubungan keuangan dan perdagangan membuat Asia sangat rentan terhadap depresi besar di Eropa. Maka dari itu, risiko yang dihadapi Asia dari krisis perbankan Eropa tidak bisa dianggap enteng. Penyaluran dana perbankan sangatlah penting di Asia karena kurangnya pasar modal yang dikembangkan secara baik sebagai sumber alternatif kredit.

Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan perbankan Eropa mendanai 9% dari total kredit domestik di negara-negara berkembang di Asia atau tiga kali porsi pembiayaan oleh perbankan yang berbasis di AS. Peran bank-bank Eropa sangat penting di Singapura dan Hong Kong, yang merupakan pusat keuangan Asia. Hal ini berarti Asia saat ini lebih terekspos oleh krisis perbankan Eropa dibandingkan dengan periode setelah runtuhnya Lehman Brothers pada 2008, yang hampir menyebabkan krisis sistem perbankan AS.

Efek penularan melalui hubungan perdagangan juga mengkhawatirkan. Secara historis, AS adalah sumber permintaan eksternal terbesar milik Asia modern. Namun, hal itu tampak berubah dalam beberapa dekade terakhir. Asia mulai bergeser ke China karena tergoda oleh pertumbuhan spektakuler negara tersebut.

Langkah itu tampaknya tepat. Tujuan ekspor ke AS dan Eropa turun menjadi 24% dari total ekspor negara-negara berkembang di Asia pada 2010 atau turun tajam dari 34% pada periode 1998-1999. Sementara itu, ketergantungan Asia pada ekspor intra-regional atau arus perdagangan dalam kawasan pada periode yang sama naik tajam dari 36% total ekspor pada 1998 menjadi 44% pada 2010.

Angka-angka tersebut merefleksikan Asia yang semakin otonom dan mampu menahan dampak dari krisis yang berulang kali terjadi di negara-negara Barat. Namun, hasil penelitian Dana Moneter Internasional menunjukkan bahwa 60%-65% dari semua arus perdagangan di kawasan itu bisa diklasifikasikan sebagai barang setengah jadi atau komponen yang dibuat di negara-negara seperti Korea dan Taiwan, lalu dirakit di China dan kemudian diekspor ke negara barat sebagai barang jadi.
 
Dengan Eropa dan AS yang masih dianggap sebagai pasar ekspor terbesar China, sudah pasti ada hubungan kuat antara China sebagai pemasok utama dan naik turunnya ekonomi negara maju. Selain itu, ada hubungan penting dan mengkhawatirkan atas hubungan tersebut: China semakin tergantung pada Eropa sebagai sumber utama permintaan eksternal. Uni Eropa menggeser posisi AS pada 2007 sebagai pasar ekspor terbesar China. UE mencakup 20% dari total ekspor China pada 2010 sedangkan AS hanya 18%.

Dengan kata lain, rangkaian pasokan dari Asia, terutama China, memiliki ketergantungan besar terhadap perubahan yang terjadi pada perekonomian Eropa--sebuah anggapan yang akhirnya merugikan diri sendiri. China kini tengah menjalankan sebuah pola berulang dengan menurunkan pertumbuhan domestik untuk menyesuaikan dengan krisis ekonomi negara maju di Barat. Dan kondisi ini tentu saja akan memengaruhi negara Asia lain.

Kabar baiknya adalah penurun kali ini tidak separah seperti pada akhir 2008 dan awal 2009. Pada saat itu ekonomi China luluh lantah--dari pertumbuhan tahunan sebesar 26% di Juli 2008 ke penurunan sebesar 27% di Februari 2009. Untuk saat ini, ekspor tahunan turun dari 20% di 2011 menjadi 5% di April 2012-penurunan yang signifikan tapi masih lebih baik dari kehancuran sebelumnya. Ini bisa berubah apabila hubungan dengan Eropa hancur, namun di balik semua itu, masih ada harapan untuk saat ini.
 
Kabar buruknya adalah Asia nampak kurang banyak belajar dari krisis permintaan sebelumnya. Pada akhirnya, permintaan dalam negeri adalah tameng dari rapuhnya permintaan eksternal. Sayangnya Asia belum mampu membangun persiapan seperti itu. kenyataanya, konsumsi lokal turun ke posisi terendah 45% di PDB negara berkembang Asia tahun 2010-turun 10 poin persen dibandingkan 2002. Dengan kondisi demikian, ketahanan dari guncangan eksternal atau upaya "decoupling" terasa masih angan-angan.

Dengan semua yang terjadi di Asia, China memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan konsumen Asia. Rancangan 5 tahunan (2011-15), memiliki semua bahan yang diperlukan untuk membangun bantalan antara dinamisme di Timur dengan krisis di Barat. Namun dengan krisis Eropa yang membuat ekonomi China melemah kedua kalinya dalam tiga tahun setengah, muncul kekhawatiran bahwa implementasi atas rencana pro-konsumsi tdak akan berhasil.

Tidak ada oase kemakmuran di dunia yang rawan krisis. Dan ini berlaku di Asia, benua dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Ketika krisis Eropa mendalam, hubungan dua arah antara keuangan dan perdagangan telah mendesak ekonomi Asia diposisi kurang menguntungkan. keseimbangan adalah satunya jalan keluar untuk China dan mitra-mitranya dalam rantai pasokan Asia. Jika itu terjadi, posisi Asia akan semakin terpojok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar