Senin, 13 Mei 2013

Kekerasan Orang Tua Yang Tidak Berpendidikan Terhadap Anak

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Dunia anak masih dalam duka. Kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi kekerasan, baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan  negara. Dari tahun ketahun aksi kekerasan tersebut terus mengalami peningkatan. Kekerasan Orangtua terhadap anak, adalah tindakan fisik, seksual, penganiayaan ataupun pengabaian terhadap anak. Kekerasan orangtua tersebut didefinisikan sebagai tindakan yang berbahaya yang dilakukan yang bersifat mengancam kehidupan seorang anak. Seperti apa kekerasan yang dilakukan orangtua tersebut?
Kekerasan yang dilakukan orangtua tersebut seperti memukul, melukai, dan melakukan tindakan seksual. Sebagian besar terjadi kekerasan pada anak yang tinggal dirumah, berbeda dengan tempatnya berinteraksi seperti sekolah. Ada empat kategori utama dalam tindak kekerasan terhadap anak : pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologi, dan pelecehan seksual terhadap anak.
Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil.
Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa depan bangsa dan agama disandarkan. Anak adalah bapak masa depan, penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Bahwa anak adalah tunas bangsa, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensial bangsa dan negara pada masa depan
Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.
Kekerasan yang terjadi pada anak tidak hanya terjadi didalam lingkungan keluarga (rumah). Pemberitaan di media yang gencar akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa kekerasan pada anak dapat terjadi dimana saja. Kasus di Pontianak, dimana tiga orang anak penghuni panti asuhan diperkosa oleh teman mereka sendiri (Liputan 6. com, 2004) adalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan pada anak yang muncul ke permukaan dan yang tidak muncul kepermukaan diperkirakan lebih banyak lagi.
Sering pula kekerasan pada anak hadir tanpa kita sadari. Di sekolah–sekolah bermunculan geng-geng yang bernuansa kekerasan, kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, ataupun tawuran antar pelajar. Kekerasan yang dilakukan disekolah yang marak di muat media belum lama ini, adalah salah satu bukti kekerasan yang ada dilingkungan pendidikan. Kekerasan disekolah merupakan suatu lingkaran setan, dimana senior biasanya melampiaskan kemarahan kepada yunior, sebagaimana mereka diperlakukan sebelumnya, dan ini akan berkelanjutan jika rantai kekerasan ini tidak ditangani dengan segera. Disinilah peran pendidik dan pemegang kebijakan disekolah memegang peranan yang sangat penting untuk memutus rantai kekerasan ini. Jika kekerasan di sekolah ini tidak ditangani maka budaya bullying dapat subur dan membudaya yang menyebabkan anak akan membentuk geng-geng kekerasan di sekolah. Geng-geng inilah yang mewarnai layar televisi akhir-akhir ini. Tawuran antar pelajar, yang disinyalir sebagai kegagalan program dan kurikulum pendidikan. Sekolah, hanya berhasil dalam penanaman teoritis akademis namun gagal dalam penerapan nilai-nilai/akhlak. Akibatnya, anak diarahkan kesuatu jurang yang menganga dan melintas diatas titian yang rapuh.
Lingkungan rumah, dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama terjadinya kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan orangtuanya/pengasuh ataupun guru. Kasus anak jalanan adalah kasus yang unik, dimana mereka hidup dijalan, mencari nafkah sendiri ataupun untuk “agen” dari penyedia jasa anak. Banyak anak tidak dapat memperoleh haknya sebagai seorang anak.
Kasus-kasus kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara mental, kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK, dan kasus perceraian. Semua kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan jelas mengorbankan masa depan anak.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr. Seto Mulyadi : Kekerasan pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak nonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan. "Kita pernah melakukan dengar pendapat tentang kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas dari siaran televisi. Jadi, kita tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua harus mengalah jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak begitu, maka anak akan ikut-ikutan menonton televisi sampai larut dan mengabaikan tugas utamanya, yaitu belajar," kata Seto. Ditambahkannya, orang tua harus mampu menjadi contoh anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah, seperti membelikan buku-buku cerita dan sekaligus bersedia mendongeng untuk si anak. Sebaliknya, orang tua jangan hanya bisa bercerita apa yang mereka tonton di televisi (Emmy Soekresno S. Pd).
1.2         Rumusan Masalah
Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap. Namun yang menjadi sumber pertanyaan :
-        Mengapa orang tua melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya?
-        Apa yang dirasakan terhadap anak yang merasakan tindak kekerasan?
-        Apa penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak?
-        Bagaimana cara mencegah kekerasan terhadap anak?
-        Apa macam-macam kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya?

1.3         Tujuan Penelitian
Dengan melakukan penelitian terhadap kekerasan orang tua terhadap anak, kita dapat mengetahui apasaja yang dipikir oleh orang tua sampai melakukan kekerasan terhadap anaknya sendiri. Apa guna semakin dalam kita mengetahui fikiran orang tua tersebut, maka semakin jelas apa yang diinginkan orangtuanya dalam melakukan tindakan tersebut. Masyarakat dapat mengambil kesimpulan dalam kejadian tersebut, dan dapat menilai tindakan yang baik dan yang salah.

1.4          Manfaat Penelitian
Masyarakat dapat mengambil nilai positif dan nilai negatif yang dilakukan saat melakukan kekerasan terhadap anak dan apa ada campur tangan pemerintah dengan tindakan yang dinamakan Kekerasan Orangtua terhadap Anak tersebut. Apa yang dilakukan pemerintah terhadap perilaku orang tua yang melakuan tindak fisik terhadap anaknya. Kita dapat menilai apakah seorang orangtua tidak memikirkan kehidupan langsung terhadap masa depan.

1.5     Sistematika Penulisan
Penulisan karya tulis ini terdiri dari 5 bab dimana setiap bab-nya memiliki sub bab sistematikanya adalah sebagai berikut :

BAB 1 : PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas latar belakang penulisan, rumusan  masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 LANDASAN TEORI :
Pada bab ini berisikan landasan atas teori-teori yang mengacu pada tema penulisan karya ilmiah ini.

BAB 3 METODE PENELITIAN :
Pada bab ini membahas tentang objek penelitian dan bagaimana penulis memperoleh data untuk penulisan karya  ilmiah  ini, apakah menggunakan metode studi lapangan dengan terjun langsung kelapangan dan mewawancarai narasumber untuk memperoleh informasi atau dengan menggunakan metode studi pustaka dengan mencari data melalui buku dan internet yang berhubungan dengan tema penulisan karya ilmiah ini.

BAB 4 PEMBAHASAN :
Pada bab ini berisi uraian mengenai judul yang dipakai, yaitu tentang kekerasan orang tua yang tidak berpendidikan terhadap anak.

BAB 5 PENUTUP :
Pada bab ini berisi kesimpulan atas isi dari karya ilmiah ini.


BAB II
LANDASAN TEORI


Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: Pengabaian , Kekerasan Fisik, Pelecehan Seksual Terhadap Anak, Kekerasan Emosional/Psikologi.
Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius". Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai "pedopath".
Empat kategori utama tersebut adalah :
1.      Pengabaian atau Penelantaran
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).



2.      Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.
Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan Sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan Sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.
Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan sangat bervariasi: kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut. Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya.

3.      Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi,gangguan strees pasca trauma, kecemasan , penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian). Dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.

4.      Kekerasan emosional/Psikologi
Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.

2.1         Pengertian Kekerasan Orangtua Terhadap Anak

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiplefractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999). Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologisatau fisik (O’Barnett et al, dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).

2.2      Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse).
a.       Kekerasan secara Fisik (physical abuse)
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.
b.      Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
c.       Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
d.      Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:
1)      Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin,masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa.
2)      Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower, 2002).
Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:
1.      Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).
2.      Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
3.      Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
4.      Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
5.      Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
6.      Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
7.      Masturbasi
8.      Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
9.      Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).
10.  Digital penetration (pada anus atau rectum).
11.  Penile penetration (pada vagina).
12.  Digital penetration (pada vagina).
13.  Penile penetration (pada anus atau rectum).
14.  Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
                                                  
Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:
a.       Kekerasan Anak Secara Fisik
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang berharga.
b.      Kekerasan Anak Secara Psikis
Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
c.       Kekerasan Anak Secara Seksual
Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d.      Kekerasan Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.




2.3         Faktor-fakor Penyebab Kekerasan terhadap Anak

Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a.       Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance) Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.

b.      Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.

c.       Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d.      Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

2.4         Efek Kekerasan Seksual

Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:
1.      Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.

2.      Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.

3.      Powerlessness (merasa tidak berdaya)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban Universitas Sumatera Utara lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4.      Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).

2.5         Kekerasan Anak dalam Tinjauan Psikologi

Kekerasan adalah salah satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Mayers, 1996).
Berbicara mengenai kekerasan anak, akan ditemukan, bahwa anak bisa menjadi subjek/pelaku maupun objek kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya dikarenakan ia memiliki pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku seperti itu sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian pengalaman-pengalaman mereka, entah itu disadari ataupun tidak.
Anak selalu menjadi korban kekerasan, karena secara fisik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya. Kekerasan ini dapat terjadi dimana saja, dirumah, sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Rumah, seyogianya menjadi tameng dan benteng pertahanan si anak untuk terhindar dari kekerasan ini, tapi kekerasan kepada anak lebih banyak terjadi dirumah. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang akan memanusiakan anak secara utuh sebagai persiapan untuk kehidupannya kelak, justru menjadi suatu momok yang menakutkan dan menimbulkan trauma yang mendalam. Kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi yang lebih menyedihkan adalah kekerasan psikis yang akan mempengaruhi kepribadiannya.
Kekerasan pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap anak. Pola asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh ini menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orangtuanya. Hurlock (1998 : 30), membagi pola asuh menjadi tiga:
a.       Pola asuh otoriter, orang tua memberi peraturan yang dan memaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa ada alasan dan jarang memberi imbalan.
b.      Pola asuh demokrasi, orang tua memberikan peraturan yang luwes serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.
c.       Pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak tentang langkah apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang tua dan anak, serta hampir tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak.
Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga.
Kebanyakan orang tua yang menganut paham otoriter, menganggap anak bodoh sehingga apa yang dikerjakannya memerlukan perintah yang tegas darinya. Ini akan membungkam kreativitas anak.
Perlakuan orang tua ataupun pengasuh kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud, akan terpendam dan menjadi pengalaman bawah sadar anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi dalam menjadi hidupnya.
Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil anak (gold age). Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 – 1,5 tahun), Fase Anal (1,5 – 3 tahun), Fase Phallic (3 – 6 tahun), Fase Latency (6 - pubertas) dan Fase genital. (Dewasa).
Freud membagi masa kanak-kanak kedalam lima tahapan sesuai dengan objek pemuasan (libido) pada anak (psikoseksual). Freud menganalisis kepribadian seseorang sesuai pengalaman masa kecilnya, yang lebih mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap perkembangan. Apabila pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang mengalami pemuasan maka akan berefek pada kepribadiannya kelak.
Keluarga bertanggung jawab mengasuh anak dan merupakan tempat pertama kali anak belajar berinteraksi dengan dunia luar (Wilson, 2000:44). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin negatif konsep diri yang dimiliki oleh anak. Kekerasan pada anak dalam keluarga, biasanya tergantung dari pola asuh orang tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan disakiti secara fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut salah, akibatnya dia akan ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif. Ataupun anak akan mengalami poor emotion, kegagalan dalam bergaul dengan orang lain, tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif dalam menanggapi respon yang datang.
Anak-anak yang dalam perkembangannya mengalami kekerasan, akan mengalami kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka). Padahal dari sisi psikologis, anak sangat membutuhkan afeksi ini (attachment) untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment adalah suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu. Keterikatan (attachment) mereka dengan orangtua/pengasuh akan menimbulkan rasa aman dan percaya diri anak. Keterikatan ini adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana mungkin dapat diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang tuanya jika anak itu adalah selalu menjadi korban kekerasan.
Misalnya saja pada anak korban perceraian. Anak korban perceraian akan merasa tidak dicintai, menyangkal akan kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa bersalah. Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga dirinya sehingga mereka mengangap dirinya anak ‘nakal’ yang telah menyebabkan perceraian orang tua mereka. Anak korban perceraian akan menyesuaikan kembali kehidupannya dimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan praktis yang memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah sekolah, pindah rumah baru pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan penyesuaian dengan pola pengasuhan anak yang baru. Ini akan menyebabkan stress pada anak. Anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang mendalam akan nasib yang dialaminya. Menurut Purwandari (2004 : 227) Pengalaman traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi anak. Bagaimana anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri tentang orang lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak dapat dilepaskan dari pengalaman traumatiknya.
Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah.
Orang tua/pengasuh ataupun orang-orang yang terkait dalam hal ini dalam suatu keluarga adalah sumber keamanan bagi perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir.
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh (attachment) akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya (Ampuni, 2002).
Dengan kelekatan ini, anak merasa nyaman dan aman dengan objek lekatnya (ibu/pengasuh). Keadaan ini akan menjamin seorang anak untuk megeksplorasi lingkungannya dengan baik. Seorang anak yang tidak mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang mengalami kekerasan akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa curiga, dan celakanya anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi, syarat utama lingkungan yang sehat secara psikologi adalah lingkungan yang bisa memberikan rasa aman bagi anak. Faktor ini bisa faktor aman secara internal (orang tua/pengsuh) maupun eksternal (lingkungan sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan dalam membangun relasi yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih pada keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan keamanan bagi anak, ia akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam.
Kaitan antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku yang anti sosial menurut penelitian Sula Wolff (1985), ia mendapatkan factor-faktor berikut secara statistik berkaitan dengan gangguan perilaku (dalam Dr. John. Pearce, hal 120):
1.      Tiadanya seorang ayah
2.      Kehilangan orang tua lebih karena perceraian bukan karena kematian
3.      Ibu yang depresif
4.      Orang tua yang mudah marah
5.      Ketidakcocokan dalam perkawinan
6.      Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan
7.      Banyak anak
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa, keadaan keluarga sangat menentukan perilaku ana
Dari keluargalah akan melahirkan generasi-generasi, yang potensinya tergantung dari stimulus-stimulus yang diterima dari lingkungannya.


BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian Kekerasan terhadap anak, Istilah itu sangat mengerikan kita dengar dan mungkin karena itu pula, kita lebih suka menutup mata. Namun, sejauh kita menghindar, sedekat itupula kenyataan yang terus terjadi pada anak-anak di Indonesia.
Ternyata, di zaman modern ini, kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari tahun ke tahun. Seto Mulyadi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, misalnya, mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi 547 kasus pada 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya. Sebelumnya, majalah Medika mencatat, pada 1992 lalu, dilaporkan terjadi tiga juta kasus perlakukan keji terhadap anak-anak di bawah umur 18 tahun, dan 1.299 di antaranya meninggal dunia. Kekerasan terhadap anak sebenarnya bukan sekadar urusan fisik dan seksual. Itu hanyalah bagian kecil dari kasus yang terjadi. Kalau mau lebih esensial menilai, kekerasan juga meliputi kekerasan psikis dan sosial (struktural).
Melalui beberapa pendekatan ilmiah, buku ini ingin memperlihatkan kepada kita bagaimana kekerasan terhadap anak dari dua sisi, internal dan eksternal selalu menjadi fenomena yang terus terjadi. Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak.(1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak.(3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan.
Namun, di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan struktural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan, faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak. Lebih dari itu, kekerasan struktural juga berdampak luar biasa, jangka pendek maupun jangka panjang.
Kombinasi persoalan internal (keluarga) dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem struktural membuat kehidupan anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang tidak mudah diatasi. Sejak 1999, jumlah anak di jalanan Indonesia meningkat 85%. Di DKI Jakarta, misalnya, pada 2002 jumlah anak jalanan diperkirakan 150 ribu-300 ribu yang berasal dari sekitar Jabotabek (42%), Jabar (19%), Pulau Jawa (27%), dan luar Jawa (12%).
Menurut BPS, pada 2002 terdapat 3.488.309 anak telantar usia antara 5-18 tahun, balita telantar 1.178.82 dan “anak nakal 193.155 yang tersebar di 30 provinsi. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus 6.686.936 dan yang potensial telantar 10.322.674. Anak usia13-15 tahun yang tidak sekolah juga meningkat 300%. Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, di antaranya pada sektor berbahaya: pertambangan ilegal, perdagangan narkoba, sektor alas kaki (industri sepatu), kerja malam, dan pelacuran. Lebih parah lagi, sekitar 36,5 juta anak Indonesia masih di bawah garis kemiskinan.
Situasi di atas tentu sangat memprihatinkan. Berbagai upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah, termasuk para pekerja sosial. Masyarakat Indonesia modern ternyata belum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi. Di sini, pemerintah sebenarnya punya tugas yang tidak mudah. Pekerja sosial yang mengurusi masalah ini juga masih sangat minim. Karena itu, sangat tepat jika buku ini secara khusus membahas pentingnya gerakan perlindungan terhadap anak.
Buku Kekerasan terhadap Anak disusun secara sederhana; yakni menjelaskan pentingnya kita menjaga kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia yang kondisinya sangat memprihatinkan. Melalui beberapa pendekatan analitis, buku ini ingin mengajak kita agar menjauhkan anak dari bahaya-bahaya struktural maupun kultural. Sekalipun data-data kekerasan terhadap anak di Indonesia tidak banyak berbeda dari yang kita temukan di berbagai media massa, buku ini tetap penting dibaca.Mungkin hal yang agak baru dari buku ini adalah tentang pendekatan paradigmatik dari teori-teori baru berkaitan dengan masalah kekerasan terhadap anak (child abuse). Anak, sebagai generasi bangsa perlu dilindungi, dirawat dan diarahkan kehidupannya.


BAB IV
PEMBAHASAN

Setelah dijelaskan pada bab sebelumnya, kita akan  bisa mengetahui lebih banyak mengenai Kekerasan Orangtua Terhadap Anak, untuk mendukung kegiatan tersebut pemerintah melakukan tindakan seperti diadakannya UNICEF dan Komisi Perlindungan Anak Pembahasan mengenai hasil penelitian tersebut akan dibahas pada beberapa sub-bab berikut ini. 

4.1         Pembahasan Mengenai Kekerasan Orangtua Yang Tidak berpendidikan
Terhadap Anak

Setiap anak Indonesia memiliki hak untuk dilindungi dari bahaya, pelecehan, dan eksploitasi. UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk membantu mengidentifikasi risiko yang mengancam anak-anak – seperti kekerasan dan diskriminasi – dan kelemahan-kelemahan pada bidang seperti peradilan anak dan kesejahteraan masyarakat. Bantuan teknis diberikan untuk kementrian-kementrian utama dan lembaga-lembaga yang menangani isu-isu perlindungan anak untuk memperkuat kapasitas dan kebijakan – misalnya dengan mendukung Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, parlemen, serta lembaga-lembaga penegak hukum untuk memperkuat perencanaan dan implementasi dari undang-undang peradilan anak, dan melalui dukungan pada lembaga-lembaga sosial untuk memperbaiki keterampilan dan pemahaman seluruh pekerja sosial di seluruh pelosok tanah air untuk pemberian bantuan yang lebih baik bagi keluarga rentan.
UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk membantu mengidentifikasi risiko yang mengancam.
UNICEF juga bermitra dengan lembaga akademik ternama dari dalam dan luar negeri untuk membantu meningkatkan penelitian dan data akurat mengenai isu-isu perlindungan anak, dan menyediakan bimbingan bagi pemerintah tentang bagaimana memaksimalkan dampak penggunaan sumber daya finansial dalam menciptakan struktur dan pelayanan perlindungan anak yang efektif dan menjangkau keluarga yang paling rentan - di mana tingkat ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan anak sering menjadi yang tertinggi.
Peningkatan kesadaran masyarakat serta pemahaman mengenai isu-isu berkelanjutan seperti kekerasan dalam sekolah dilaksanakan melalui dukungan terhadap prakarsa perubahan perilaku, dengan menyatukan berbagai pihak masyarakat untuk mengambil tindakan melawan pelecehan-pelecehan tersebut. Anak-anak sering menghadapi risiko besar dalam keadaan darurat dan melihat kerentanan Indonesia terhadap bencana alam yang tinggi, UNICEF turut bekerja sama dengan lembaga atau instansi tanggap dan siaga bencana / kedaruratan untuk memastikan bahwa isu-isu perlindungan cukup mendapat perhatian di dalam kebijakan dan rencana mereka.

4.2         Aspek-Aspek Kekerasan Pada Anak

Kekerasan yang terjadi pada anak bermacam-macam jenis kasusnya, sehingga perlu pembatasan mengenai dan jenis-jenis kekerasan.
Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak terpaksa menjaga diri sendiri dan menjadi pengemis. Kekerasan emosiadalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development.
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah segala tindakan yang dilakukan terhadap anak baik fisik maupun psikis yang merugikan anak, ataupun karena diabaikan.

4.3         Sumber-Sumber Pemicu Kekerasan pada Anak

Faktor-faktor penyebab yang menjadi stimulus kekerasan (bullying) adalah feodalisme (senior/yunior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ataupun kekerasan disekolah. Sumber-sumber pemicu kekerasan terhadap anak bermacam-macam factor pencetusnya. Diantaranya:
1)      Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Dengan keadaan ekonomi yang memprihatinkan, banyak kebutuhan-kebutuhan anak menjadi tidak bisa terpenuhi. Sehingga anak terpaksa atau dipaksa berkerja untuk mencari nafkah. Kemiskinan, menurut kajian KPAID, adalah juga akar dari masalah trafficking(dalam Hadi Supeno, 2007). Karena kemiskinan, banyak orang tua memaksa anaknya bekerja. Lebih ironis lagi, menjadikan anak sebagai pekerja seks komersial.
Pernikahan anak dibawah umur, yang akhir-akhir ini, banyak terdengar, juga disinyalir bermula dari keadaan ekonomi. Pernikahan dilakukan dengan iming-iming akan memberikan sesuatu bagi keluarga (orang tua) si anak.
Kemiskinan kemungkinan mempunyai korelasi dengan intensitas perlakuan kekerasan. Asumsi ini diperkuat dengan fakta dilapangan bahwa sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, angka kekerasan kepada anak juga meningkat. Data yang perlu dicatat pula bahwa, jumlah anak yang masuk ke Panti Asuhan, dan anak jalanan semakin meningkat pula. Anak-anak yang tinggal dipanti asuhan dan yang hidup dijalanan sudah dapat dipastikan adalah korban kekerasan. Pekerja anak dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus pedofilia, biasanya berasal dari keluarga miskin, atau tidak memiliki keluarga. Bisa juga karena anak dari hasil hubungan gelap yang tidak diakui oleh orang tua mereka, dibuang begitu saja oleh orang tuanya dengan maksud menghindar dari tanggung jawab moral dan hukum. Ada sebagian dari anak ini yang mengalami cacat fisik, karena sejak dalam kandungan anak ini tidak diharapkan, sehingga orang tuanya berupaya segala cara untuk menggugurkannya.

2)      Stres
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan dapat terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress) (dalam Indra Sugiarno). Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
b.      Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
c.       Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
d.      Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.

3)      Pengetahuan orang tua/pengasuh yang kurang
Pengatahuan atau skill orang tua/pengasuh sangat berpengaruh pada bagaimana cara berinteraksi dengan anak. Kebanyakan kasus kekerasan kepada anak banyak disebabkan karena ketidak tahuan orangtua/pengasuh. Orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik, kemungkinan menganggap bahwa, hukuman fisik, ataupun psikis yang kelewatan, itu biasa-biasa saja.
Orangtua kadang tidak mengerti batas-batas kekerasan yang dilakukan terhadap anaknya yang bisa ditolerir. Bagaimanapun juga, usia anak adalah usia imitasi yang sangat dominan. Dengan perlakuan orangtua/pengasuh yang salah, dia akan mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan objek imitasi yang dilihatnya.

4)      Dorongan Seksual yang tidak terkendali
Kekerasan terhadap anak yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Biasanya anak yang mengalami trauma kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual, ini merupakan sebuah mata rantai yang harus diputus demi keselamatan generasi. Kekerasan seksual ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dekat anak. Kasus-kasus terakhir, lebih banyak dilakukan incest oleh orangtua kepada anaknya, ataupun orangtua kepada anak tirinya, paman, kakek, kakak ataupun yang lain, mempunyai hubungan dekat dengan anak. Kekerasan seksual kepada anak ini semakin meningkat, seperti yang dilaporkan pada kejadian di Amerika (Oprah, Metro TV, Tanggal 11 April 2009, jam 11 WIB). Kasus yang terungkap hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya (fenomena gunung es), bahkan pemunculan kasus baru melebihi jumlah kasus yang bisa ditangani.

5)      Keberadaan anak yang tidak diinginkan
Anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, adalah salah satu dari korban kekerasan. Orangtua yang tidak mengharapkan kehamilannya, sejak masih dalam kehamilan, akan melakukan segala cara untuk melenyapkan si anak. Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah penghuni panti asuhan kebanyakan adalah anak yang tidak diketahui keberadaan orangtuanya.
Selain itu juga pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya :
-        Kekerasan dalam rumah tangga, yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara  lainnya
-        Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
-        Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi.
-        Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
-        Disamping itu, faktor penyebab kekerasan pada anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006).

4.4         Nasib Anak Terhadap Kekerasan

Pelaku kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh sang suami, namun ada pula yang didalangi oleh sang istri. Bagaimanapun peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, korban sesungguhnya adalah anak-anak mereka sendiri. Kehidupan anak-anak mereka di kemudian hari akan menjadi serba ketakutan dan tumbuh dengan pikiran yang diracuni dengan kekerasan.
Bagaimana nasib anak-anak yang hidupnya di tengah-tengah kekerasan keluarga? Batin mereka selalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Contoh kekerasan yang disodorkan orangtua, secara tidak logis mendoktrinasi pikiran bawah sadar anak. Rekaman kekerasan ini nantinya akan menjadi cerminan kehidupan mereka di masa depan, terutama saat mereka berumah tangga dan mendidik anaknya.
Orangtua bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin anaknya. Jika anak tumbuh menjadi orang yang kuat dan berguna, maka itu adalah hasil usaha orangtua. Sedangkan jika anak tumbuh menjadi orang yang menyusahkan maka orangtua harus bertanggung jawab. Pada masa pertumbuhannya, anak memerlukan kasih sayang, perawatan, dan perhatian orangtua. Tanpa kasih sayang dan bimbingan orangtua, anak akan menjadi cacat secara emosional dan dunia akan menjadi tempat yang tak bersahabat baginya untuk hidup.
Melimpahkan kasih sayang bukan berarti memenuhi segala keinginan anak, baik yang perlu maupun yang tidak masuk akal. Kasih sayang harus diberikan dengan sikap tegas tetapi lembut dalam menghadapi anaknya yang ”ngambek”. Anak tidak hanya memerlukan pemenuhan kebutuhan material, kuncinya pada kebutuhan rohani dan mental. Berdasarkan prioritas perhatian dan kasih sayang pada anak, maka mereka akan tumbuh menjadi orang yang berguna, jauh dari masalah mental dan moral.
Umumnya kekerasan dalam rumah tangga terjadi disebabkan suami dan istri tidak memahami tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga. Bila suami dan istri memahami tanggung jawabnya maka akan tercipta rasa saling pengertian. Kekerasan dalam rumah tangga terpicu oleh kesalahpahaman yang kemudian diwujudkan dalam tindakan. Hal ini menunjukkan kurangnya pengendalian diri. Orang yang dipenuhi kemarahan tidak dapat melihat dengan jelas bagai dibutakan oleh asap. Jika orang memperlihatkan kebencian akan membawa penderitaan bagi diri sendiri. Karena orang yang sering dirasuki kemarahan dan kebencian, ibaratnya sedang mengeluarkan racun dari dalam dirinya dan akan lebih melukai dirinya sendiri daripada orang lain.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat diakhiri dengan belajar untuk mengerti peran masing-masing dalam kehidupan berkeluarga dan belajar untuk bersabar terhadap segala sesuatu. Kemarahan atau kebencian akan menuntun seseorang menuju rimba yang tidak memiliki jalan setapak untuk dilalui. Kemarahan atau kebencian tidak hanya mengganggu orang lain melainkan juga melukai dirinya sendiri dan melemahkan jasmani serta mengganggu pikirannya. Kata-kata kasar yang kita lontarkan ibarat anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak akan dapat ditarik kembali walaupun kita persembahkan seribu permohonan maaf untuk itu.
Saat kemarahan membelenggu berarti kita sedang bertempur dengan diri sendiri karena diri sendiri adalah musuh terbesar kita. Semua berakar dari pikiran yang merupakan teman terbaik sekaligus musuh terjahat kita. Oleh karena itu, kita harus mencoba dan terus berlatih membunuh hawa nafsu, kebencian, dan kebodohan yang terpendam dalam pikiran kita dengan menggunakan kesusilaan, pemusatan pikiran serta kebijaksanaan.
Dengan pengendalian hawa nafsu, maka berbagai penderitaan batin seperti dendam, kebencian, serta iri hati akan pupus detik demi detik. Pupusnya penderitaan tersebut akan memberikan kedamaian hidup.
”Barang siapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu yang dilempar melawan angin.”

4.5         Mencegah Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
·         Mencegah Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
Anak adalah anugerah. Sementara itu tak dipungkiri dalam membesarkan anak hari demi harinya, orang tua bisa mengalami stress yang luar biasa. Mulai dari suara tangis tengah malam, rewel, merengek, persoalan makan, toilet training, temper tantrum, pekerjaan rumah yang harus dibereskan serta kekacauan rumah yang tak pernah ada habisnya. Belum lagi masalah external, relationship dan tekanan ekonomi, seringkali membuat hubungan orang tua dan anak berubah menjadi ledakan besar. Kekerasan terhadap anak pun seringkali tak bisa dihindari.
Komnas Perlindungan Anak mencatat 61,4% pelaku kekerasan adalah orang tuanya sendiri. Bahkan tak jarang orang tua tega melakukan penganiayaan terhadap anaknya yang di luar akal sehat manusia. Kondisi yang memprihatinkan ini bisa terjadi di sekitar kita. Kita semua harus bertindak, kita juga turut bertanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak, yang dimulai dari keluarga.
·         Untuk Orang Tua dan Pengasuh
Anak-anak memerlukan makanan, tempat tinggal, pakaian dan terlebih dari itu semua, mereka membutuhkan kasih sayang. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka istimewa dan dicintai. Jadi, sebelum kehilangan kesabaran Anda, saran ini dapat membantu:
Ø  Luangkan waktu untuk diri sendiri. Ketika dihadapkan dengan persoalan hidup hingga pada titik puncak merasa kewalahan atau nyaris di luar kendali, luangkan waktu untuk tenang sejenak; jangan timpakan persoalan pada anak.
Ø  Berpikirlah sebelum bertindak. Misalnya jika frustasi dengan suara tangis bayi, jangan guncangkan bayi dengan keras, karena akan mengakibatkan cidera atau kematian.
Ø  Minta bantuan orang lain. Menjadi orang tua tidaklah mudah. Telepon teman/saudara, mintalah bantuan orang lain yang memahami tahapan perkembangan anak.
Ø  Perhatikan acara televisi dan games yang anak Anda lihat. Maraknya film kekerasan dan program TV dapat membahayakan mereka.

4.6         Kekerasan Pada Anak Menurut UU Perlindungan Anak

Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.
Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 ini, Tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada definisi, segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain.
Perlakuan yang salah terhadap anak, akan mendapat respon yang sama dari anak. Kebanyakan orang tua pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena dimasa kecilnya diperlakukan sama oleh orang tuanya. Perlakuan ini akan masuk di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola pengasuhan kelak. Jika hal ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang pengasuhan anak yang sehat, kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya. Pengasuhan anak membutuhkan suatu keterampilan khusus, berhubungan dengan mereka membutuhkan kondisi emosi yang stabil.

4.7         Undang-Undang mengenai Anak

Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan Hak Anak yaitu :
Pasal 52
(1)   Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.
(2)   Hak anak adalah hak asasi manusia untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak kandungannya.

Pasal 53
(1)   Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2)   Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya Negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua atau wali.


Pasal 56
(1)   Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2)   Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
(1)   Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan kententuan perundang-undangan.
(2)   Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3)   Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagaimana orang tua sesungguhnya.

Pasal 58
(1)   Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2)   Dalam hal orang tua, wali atau pangasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59
(1)   Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan pemisahaan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2)   Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.


Pasal 60
(1)   Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tikat kecerdasannya.
(2)   Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan persatuan.

Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peperangan, sengketa, kerusuhan sosial dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya.

Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta  berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika dan zat aditif lainnya.

Pasal 66
(1)   Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2)   Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhi untuk pelaku tonak pidana yang masih anak.
(3)   Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
(4)   Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang beraku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya akhir.
(5)   Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
(6)   Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7)   Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.



BAB V
KESIMPULAN

Masa depan anak dan generasi, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua dan pengasuh di masa kecil anak. Orang tua ataupun pengasuh yang efektif dalam pengasuhan anak untuk pemberian aspek afeksi bagi anak sangat diperlukan. Komunikasi yang dibina dengan semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan anak.
Pendidikan yang diberikan kepada anak, untuk membuatnya patuh dan taat, tidak selamanya dengan memberikan hukuman fisik. UU PA No 23 tahun 2003 dengan jelas tidak membenarkan adanya hukuman yang bersifat fisik maupun psikis yang berjangka waktu lama (traumatis).
Berangkat dari suatu mimpi, bahwa kebangkitan dari umat ini harus untuk membangun peradaban yang mulia, maka jawaban dari semua ini adalah persiapan generasi pengembang amanah. Pengembang amanah (khalifah/pemimpin) adalah manusia-manusia yang berbudi luhur, berkepribadian tangguh, adalah syarat mutlak.Mustahil akan lahir kucing dari perut anjing, dimana anjing akan membesarkan dan merawat serta mengasuh anak kucing menjadi pemimpin yang berkepribadian amanah, ini sangat mustahil. Tapi emas akan tetaplah emas, walau ia berada dalam lumpur.
Manusia adalah khalifah dimuka bumi, dialah emas yang terpendam itu, yang diasuh oleh induk ayam atau induk kambing. Induk yang salah akan melahirkan generasi yang salah. Generasi yang unggul lahir dari generasi yang unggul pula.
Dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang dialami seorang anak akibat faktor ekonomi sehingga membuat anak menjadi depresi berat dan mengalami kekerasan yang sangat parah hingga mengakibatkan si anak menjadi patah tulang. Dalam hal ini komnas perlindungan anak sangat berperan dalam kasus ini, agar kasus ini dapat bisa teratasi secara cepat dan dapat dicari solusinya dengan baik agar tidak terulang kembali. Sadar atau tidak, apa yang diperbuat hari, merupakan warisan untuk generasi masa depan. Anak-anak harus diselamatkan, kunci utama kebangkitan generasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Djumhardjinis, 2012, pendidikan pancasila, demokrasi, dab HAM, widya, Jakarta
Ø  UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Ø  H. Muchji, achmad, etalle, Pendidikan kewarganegaraan, Gunadarma Jkt, 2004
Ø  S. Soemarsono ( TIM LEMHANAS ), 2001 Pendidikan Kewarganegaraan Gramedia, Jakarta
Ø  Hartono, Dimyati, 2004, Pola dan Pembangunan NKRI, Zaman restorasi sendiri, Jakarta