BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dunia
anak masih dalam duka. Kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi
kekerasan, baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan
negara. Dari tahun ketahun aksi kekerasan tersebut terus mengalami
peningkatan. Kekerasan Orangtua terhadap anak, adalah tindakan fisik, seksual,
penganiayaan ataupun pengabaian terhadap anak. Kekerasan orangtua tersebut
didefinisikan sebagai tindakan yang berbahaya yang dilakukan yang bersifat
mengancam kehidupan seorang anak. Seperti apa kekerasan yang dilakukan orangtua
tersebut?
Kekerasan
yang dilakukan orangtua tersebut seperti memukul, melukai, dan melakukan
tindakan seksual. Sebagian besar terjadi kekerasan pada anak yang tinggal
dirumah, berbeda dengan tempatnya berinteraksi seperti sekolah. Ada empat
kategori utama dalam tindak kekerasan terhadap anak : pengabaian, kekerasan
fisik, pelecehan emosional/psikologi, dan pelecehan seksual terhadap anak.
Anak
adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari
segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan
spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil.
Pada
anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa depan bangsa dan
agama disandarkan. Anak adalah bapak masa depan, penerus cita-cita dan pewaris
keturunan. Bahwa anak adalah tunas bangsa, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensial bangsa dan negara pada masa depan.
Banyak
cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan
kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif.
Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan
kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis
dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang
diharapkan.
Kekerasan yang terjadi pada anak tidak hanya
terjadi didalam lingkungan keluarga (rumah). Pemberitaan di media yang gencar
akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa kekerasan pada anak dapat terjadi dimana
saja. Kasus di Pontianak, dimana tiga orang anak penghuni panti asuhan
diperkosa oleh teman mereka sendiri (Liputan 6. com, 2004) adalah satu dari
sekian banyak kasus kekerasan pada anak yang muncul ke permukaan dan yang tidak
muncul kepermukaan diperkirakan lebih banyak lagi.
Sering pula kekerasan pada anak hadir tanpa kita
sadari. Di sekolah–sekolah bermunculan geng-geng yang bernuansa kekerasan,
kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, ataupun tawuran antar
pelajar. Kekerasan yang dilakukan disekolah yang marak di muat media belum lama
ini, adalah salah satu bukti kekerasan yang ada dilingkungan pendidikan.
Kekerasan disekolah merupakan suatu lingkaran setan, dimana senior biasanya
melampiaskan kemarahan kepada yunior, sebagaimana mereka diperlakukan
sebelumnya, dan ini akan berkelanjutan jika rantai kekerasan ini tidak
ditangani dengan segera. Disinilah peran pendidik dan pemegang kebijakan
disekolah memegang peranan yang sangat penting untuk memutus rantai kekerasan
ini. Jika kekerasan di sekolah ini tidak ditangani maka budaya bullying dapat
subur dan membudaya yang menyebabkan anak akan membentuk geng-geng kekerasan di
sekolah. Geng-geng inilah yang mewarnai layar televisi akhir-akhir ini. Tawuran
antar pelajar, yang disinyalir sebagai kegagalan program dan kurikulum
pendidikan. Sekolah, hanya berhasil dalam penanaman teoritis akademis namun
gagal dalam penerapan nilai-nilai/akhlak. Akibatnya, anak diarahkan kesuatu
jurang yang menganga dan melintas diatas titian yang rapuh.
Lingkungan rumah, dan sekolah adalah lahan subur
dan sumber utama terjadinya kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi
dengan orangtuanya/pengasuh ataupun guru. Kasus anak jalanan adalah kasus yang
unik, dimana mereka hidup dijalan, mencari nafkah sendiri ataupun untuk “agen” dari penyedia jasa anak. Banyak anak tidak dapat
memperoleh haknya sebagai seorang anak.
Kasus-kasus kekerasan anak dapat berupa
kekerasan fisik, tertekan secara mental, kekerasan seksual, pedofilia, anak
bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah
umur, trafficking, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK, dan
kasus perceraian. Semua kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja akan
berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun
psikis dan jelas mengorbankan masa depan anak.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr. Seto
Mulyadi : Kekerasan pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang
marak akhir-akhir ini, namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para
orangtua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak nonton sinetron televisi
yang menayangkan kekerasan. "Kita pernah melakukan dengar pendapat tentang
kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas dari siaran
televisi. Jadi, kita tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua harus mengalah
jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak begitu, maka anak akan
ikut-ikutan menonton televisi sampai larut dan mengabaikan tugas utamanya,
yaitu belajar," kata Seto. Ditambahkannya, orang tua harus mampu menjadi
contoh anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah, seperti membelikan
buku-buku cerita dan sekaligus bersedia mendongeng untuk si anak. Sebaliknya,
orang tua jangan hanya bisa bercerita apa yang mereka tonton di televisi (Emmy
Soekresno S. Pd).
1.2
Rumusan
Masalah
Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang
sangat pelik. Dimana jenis kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai
kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa
kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan
orang lain tidak boleh mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi.
Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap. Namun
yang menjadi sumber pertanyaan :
-
Mengapa
orang tua melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya?
-
Apa
yang dirasakan terhadap anak yang merasakan tindak kekerasan?
-
Apa
penyebab
terjadinya kekerasan
terhadap anak?
-
Bagaimana cara mencegah kekerasan terhadap anak?
-
Apa macam-macam kekerasan yang dilakukan orang tua
pada anaknya?
1.3
Tujuan
Penelitian
Dengan
melakukan penelitian terhadap kekerasan orang tua terhadap anak, kita dapat
mengetahui apasaja yang dipikir oleh orang tua sampai melakukan kekerasan
terhadap anaknya sendiri. Apa guna semakin dalam kita mengetahui fikiran orang
tua tersebut, maka semakin jelas apa yang diinginkan orangtuanya dalam
melakukan tindakan tersebut. Masyarakat dapat mengambil kesimpulan dalam
kejadian tersebut, dan dapat menilai tindakan yang baik dan yang salah.
1.4
Manfaat
Penelitian
Masyarakat
dapat mengambil nilai positif dan nilai negatif yang dilakukan saat melakukan
kekerasan terhadap anak dan apa ada campur tangan pemerintah dengan tindakan
yang dinamakan Kekerasan Orangtua terhadap Anak tersebut. Apa yang dilakukan
pemerintah terhadap perilaku orang tua yang melakuan tindak fisik terhadap
anaknya. Kita dapat menilai apakah seorang orangtua tidak memikirkan kehidupan
langsung terhadap masa depan.
Penulisan
karya tulis ini terdiri dari 5 bab dimana setiap bab-nya memiliki sub bab
sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB 1 : PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB 2 LANDASAN TEORI :
Pada bab ini berisikan
landasan atas teori-teori yang mengacu pada tema penulisan karya ilmiah ini.
BAB 3 METODE PENELITIAN
:
Pada bab ini membahas
tentang objek penelitian dan bagaimana penulis memperoleh data untuk penulisan
karya ilmiah ini, apakah menggunakan metode studi lapangan
dengan terjun langsung kelapangan dan mewawancarai narasumber untuk memperoleh
informasi atau dengan menggunakan metode studi pustaka dengan mencari data
melalui buku dan internet yang berhubungan dengan tema penulisan karya ilmiah ini.
BAB 4 PEMBAHASAN :
Pada bab ini berisi
uraian mengenai judul yang dipakai, yaitu tentang kekerasan
orang tua yang tidak berpendidikan terhadap anak.
BAB 5 PENUTUP :
Pada bab ini berisi kesimpulan
atas isi dari karya ilmiah ini.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Kekerasan
terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan
emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak
sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh
orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau
berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian
besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah
yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak
berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak:
Pengabaian , Kekerasan Fisik, Pelecehan Seksual Terhadap Anak, Kekerasan
Emosional/Psikologi.
Yurisdiksi
yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang
merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau
penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak
adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian
dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius
atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan
atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang
serius". Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap
anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai
"pedopath".
Empat
kategori utama tersebut adalah :
1.
Pengabaian
atau Penelantaran
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang
bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai
keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup,
pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan
atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) ,
atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
2.
Kekerasan
Fisik
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang
anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang,
mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut,
menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.
Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan Sindrom
guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan
otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola
seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan
ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada
anak melalui ibunya (seperti dengan Sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap
penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.
Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak
mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan
anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di
luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak
kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan
tindak kekerasan sangat bervariasi: kalangan profesional serta masyarakat yang
lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia
mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik
adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan
kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut. Penggunaan tindak
kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di
24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di
banyak negara lainnya.
3. Pelecehan Seksual Terhadap
Anak
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk
penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh
remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi
seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang
anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan
senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak,
kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin
anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan
menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang
berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter,
dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai
diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi,gangguan strees
pasca trauma, kecemasan , penyakit mental lainnya (termasuk gangguan
kepribadian). Dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi
tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di
antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15%
pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan
pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar
30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman
atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh
anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar
10% dari kasus pelecehan seksual anak.
4. Kekerasan
emosional/Psikologi
Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional
adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan,
ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap
hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan,
pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan
diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali
pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih
sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri
sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak
berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
2.1
Pengertian
Kekerasan Orangtua Terhadap Anak
Kekerasan berarti penganiayaan,
penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S,
dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Awal mulanya istilah tindak kekerasan
pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari
dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan
kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang
panjang yang majemuk (multiplefractures) pada anak-anak atau bayi
disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized
trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini
dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh,
1999). Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan
tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,
degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual
merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan
secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologisatau
fisik (O’Barnett et al, dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis
kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi
seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan
fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).
2.2
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak
Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007),
psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse,
menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal
abuse, physical abuse, dan sexual abuse).
a.
Kekerasan secara
Fisik (physical abuse)
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak
memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan
diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh
anak.
b.
Kekerasan Emosional (emotional
abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah
atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu.
Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional
itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada
anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan
anak itu.
c.
Kekerasan secara
Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku
verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun
kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental
abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
d.
Kekerasan Seksual (sexual
abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,
anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan
atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual (sexual
abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam
kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:
1) Familial Abuse
Incest merupakan
sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam
keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri,
atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer
(dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan
dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan).
Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism,
semua hal yang berkaitan untuk
menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual
assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat
kelamin,masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus
(stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang
paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa),
meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban.
Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan
trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan
demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan
seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang
mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa
secara paksa.
2)
Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40%
yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh
orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban
utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai
anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan
seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam
Tower, 2002).
Pornografi anak menggunakan anak-anak
sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku
(O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang
terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba
perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan
akan berlanjut dan intensif, berupa:
1. Nudity (dilakukan oleh orang
dewasa).
2.
Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
3.
Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
4.
Observation of the
child (saat mandi, telanjang, dan saat
membuang air).
5.
Mencium anak yang
memakai pakaian dalam.
6.
Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
7.
Masturbasi
8.
Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
9.
Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau
pelaku).
10.
Digital penetration (pada anus atau rectum).
11.
Penile penetration (pada vagina).
12.
Digital penetration (pada vagina).
13.
Penile penetration (pada anus atau rectum).
14.
Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha,
atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
Menurut Suharto (1997) mengelompokkan
kekerasan pada anak menjadi:
a.
Kekerasan Anak Secara
Fisik
Kekerasan secara
fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan
atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau
kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan,
ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat
bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka
biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut,
punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya
dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal
atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,
memecahkn barang berharga.
b.
Kekerasan Anak Secara
Psikis
Kekerasan secara psikis meliputi
penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku,
gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan
ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu,
menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang
lain.
c.
Kekerasan Anak Secara
Seksual
Kekerasan secara
seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang
yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism),
maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d.
Kekerasan Anak Secara
Sosial
Kekerasan secara
sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran
anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang
layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari
keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi
anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap
anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik,
psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di
pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah
dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
2.3
Faktor-fakor Penyebab Kekerasan
terhadap Anak
Gelles
Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi
akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a.
Pewarisan Kekerasan
Antar Generasi (intergenerational transmission of violance) Banyak
anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku
kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan
bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi
orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai
3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada
anak-anaknya. Anak anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin
menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi,
sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang
dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
b.
Stres Sosial (social
stress)
Stres
yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap
anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor
housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a
larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence
of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the
death) seorang anggota keluarga. Sebagian
besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari
keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap
anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan
yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c.
Isolasi Sosial dan
Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua
dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung
terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut
serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai
hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d.
Struktur Keluarga
Tipe-tipe
keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan
dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan
tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu,
keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan
penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri
sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
2.4
Efek Kekerasan Seksual
Kebanyakan
korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic
stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa
ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa
traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami
kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.
Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari
efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:
1.
Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan
seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu
dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas
orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2.
Traumatic
sexualization (trauma secara seksual)
Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan
sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Finkelhor (dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih
memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat
dipercaya.
3.
Powerlessness (merasa tidak berdaya)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia,
dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak
berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan
kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya.
Sebaliknya, pada korban Universitas Sumatera Utara lain memiliki
intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne,
Briere dalam Tower, 2002).
4.
Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk
mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain,
dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang
dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum
tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian
tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
2.5
Kekerasan
Anak dalam Tinjauan Psikologi
Kekerasan
adalah salah satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek
kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang
disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Mayers,
1996).
Berbicara
mengenai kekerasan anak, akan ditemukan, bahwa anak bisa menjadi subjek/pelaku maupun objek
kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya dikarenakan ia
memiliki pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku
seperti itu sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian
pengalaman-pengalaman mereka, entah itu disadari ataupun tidak.
Anak
selalu menjadi korban kekerasan, karena secara fisik, dia tidak dapat
mempertahankan dirinya. Kekerasan ini dapat terjadi dimana saja, dirumah,
sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Rumah, seyogianya menjadi tameng dan
benteng pertahanan si anak untuk terhindar dari kekerasan ini, tapi kekerasan
kepada anak lebih banyak terjadi dirumah. Sekolah sebagai suatu lembaga
pendidikan yang akan memanusiakan anak secara utuh sebagai persiapan untuk
kehidupannya kelak, justru menjadi suatu momok yang menakutkan dan menimbulkan
trauma yang mendalam. Kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik,
tetapi yang lebih menyedihkan adalah kekerasan psikis yang akan mempengaruhi
kepribadiannya.
Kekerasan
pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap anak. Pola
asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh ini menentukan
bagaimana anak berinteraksi dengan orangtuanya. Hurlock (1998 : 30), membagi pola
asuh menjadi tiga:
a. Pola asuh otoriter, orang tua memberi peraturan yang dan memaksa
untuk bertingkah laku sesuai dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi
timbal balik, hukuman diberikan tanpa ada alasan dan jarang memberi imbalan.
b. Pola asuh demokrasi, orang tua memberikan peraturan yang luwes
serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan
tersebut.
c. Pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada anak tentang langkah apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan
pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang yang sebaiknya dilakukan anak.
Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang tua dan anak, serta
hampir tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak.
Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang
tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap
otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan
menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap
otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa,
tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah
hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri
anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga.
Kebanyakan orang tua yang menganut paham
otoriter, menganggap anak bodoh sehingga apa yang dikerjakannya memerlukan
perintah yang tegas darinya. Ini akan membungkam kreativitas anak.
Perlakuan orang tua ataupun pengasuh kepada anak
sangat mempengaruhi kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak
menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh.
Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud, akan terpendam dan menjadi pengalaman
bawah sadar anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi dalam
menjadi hidupnya.
Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian
seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil anak (gold age). Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 –
1,5 tahun), Fase Anal (1,5 – 3 tahun), Fase Phallic (3 – 6 tahun), Fase Latency
(6 - pubertas) dan Fase genital. (Dewasa).
Freud membagi masa kanak-kanak kedalam lima
tahapan sesuai dengan objek pemuasan (libido) pada anak (psikoseksual). Freud
menganalisis kepribadian seseorang sesuai pengalaman masa kecilnya, yang lebih
mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap perkembangan. Apabila
pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang mengalami pemuasan
maka akan berefek pada kepribadiannya kelak.
Keluarga bertanggung jawab mengasuh anak dan
merupakan tempat pertama kali anak belajar berinteraksi dengan dunia luar
(Wilson, 2000:44). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tindakan kekerasan
terhadap anak merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan
konsep diri anak. Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin
negatif konsep diri yang dimiliki oleh anak. Kekerasan
pada anak dalam keluarga, biasanya tergantung dari pola asuh orang
tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan disakiti secara
fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut salah, akibatnya dia
akan ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif. Ataupun anak akan
mengalami poor emotion, kegagalan dalam bergaul dengan orang lain,
tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif dalam menanggapi respon
yang datang.
Anak-anak yang dalam perkembangannya mengalami
kekerasan, akan mengalami kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka).
Padahal dari sisi psikologis, anak sangat membutuhkan afeksi ini (attachment)
untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment adalah suatu
relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan
melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu.
Keterikatan (attachment) mereka dengan orangtua/pengasuh akan
menimbulkan rasa aman dan percaya diri anak. Keterikatan ini adalah suatu
ikatan emosional yang kuat antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana
mungkin dapat diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang
tuanya jika anak itu adalah selalu menjadi korban kekerasan.
Misalnya saja pada anak korban perceraian. Anak korban perceraian akan merasa tidak dicintai,
menyangkal akan kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa
bersalah. Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga
dirinya sehingga mereka mengangap dirinya anak ‘nakal’ yang telah menyebabkan
perceraian orang tua mereka. Anak korban perceraian akan menyesuaikan kembali
kehidupannya dimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan praktis yang
memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah sekolah, pindah rumah baru
pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan penyesuaian dengan pola pengasuhan
anak yang baru. Ini akan menyebabkan stress pada anak. Anak kemungkinan menarik
diri dari pergaulan sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang
mendalam akan nasib yang dialaminya. Menurut Purwandari (2004 : 227) Pengalaman
traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi anak. Bagaimana anak
berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri tentang orang
lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak dapat dilepaskan dari
pengalaman traumatiknya.
Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak
kelak. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya adalah pengalaman yang paling
berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam
mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu
merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah.
Orang tua/pengasuh ataupun orang-orang yang
terkait dalam hal ini dalam suatu keluarga adalah sumber keamanan bagi
perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk
sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya.
Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan
kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola
tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga
sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan
tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan
akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir.
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan
bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh (attachment) akan bertahan cukup
lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada
ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan berpengaruh pada
perkembangan anak selanjutnya (Ampuni, 2002).
Dengan kelekatan ini, anak merasa nyaman dan
aman dengan objek lekatnya (ibu/pengasuh). Keadaan ini akan menjamin seorang
anak untuk megeksplorasi lingkungannya dengan baik. Seorang anak yang tidak
mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang mengalami kekerasan
akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa curiga, dan celakanya
anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi, syarat utama lingkungan yang sehat secara
psikologi adalah lingkungan yang bisa memberikan rasa aman bagi anak. Faktor
ini bisa faktor aman secara internal (orang tua/pengsuh) maupun eksternal
(lingkungan sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan dalam membangun relasi
yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih pada
keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan keamanan bagi
anak, ia akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam.
Kaitan antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku
yang anti sosial menurut penelitian Sula Wolff (1985), ia mendapatkan
factor-faktor berikut secara statistik berkaitan dengan gangguan perilaku
(dalam Dr. John. Pearce, hal 120):
1. Tiadanya seorang ayah
2. Kehilangan orang tua lebih karena perceraian
bukan karena kematian
3. Ibu yang depresif
4. Orang tua yang mudah marah
5. Ketidakcocokan dalam perkawinan
6. Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan
7. Banyak anak
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa,
keadaan keluarga sangat menentukan perilaku ana
Dari keluargalah akan melahirkan
generasi-generasi, yang potensinya tergantung dari stimulus-stimulus yang
diterima dari lingkungannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian Kekerasan terhadap anak, Istilah itu sangat mengerikan kita
dengar dan mungkin karena itu pula, kita lebih suka menutup mata. Namun, sejauh
kita menghindar, sedekat itupula kenyataan yang terus terjadi pada anak-anak di
Indonesia.
Ternyata, di zaman modern ini,
kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari
tahun ke tahun. Seto Mulyadi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, misalnya,
mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi
547 kasus pada 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140
kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya. Sebelumnya,
majalah Medika mencatat, pada 1992 lalu, dilaporkan terjadi tiga juta
kasus perlakukan keji terhadap anak-anak di bawah umur 18 tahun, dan 1.299 di
antaranya meninggal dunia. Kekerasan terhadap anak
sebenarnya bukan sekadar urusan fisik dan seksual. Itu hanyalah bagian kecil
dari kasus yang terjadi. Kalau mau lebih esensial menilai, kekerasan juga
meliputi kekerasan psikis dan sosial (struktural).
Melalui
beberapa pendekatan ilmiah, buku ini ingin memperlihatkan kepada kita bagaimana
kekerasan terhadap anak dari dua sisi, internal dan eksternal selalu menjadi
fenomena yang terus terjadi. Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan
terhadap anak.(1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan
tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan
anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2)
Kemiskinan keluarga, banyak anak.(3) Keluarga pecah (broken home)
akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa
ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik
anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted
child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah
satu orang tua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu sering
ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan
anak-anaknya dengan pola yang sama. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk,
keterbelakangan.
Namun,
di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan struktural paling menjadi
problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural,
terutama akibat kemiskinan, faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat
pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum
masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap
anak. Lebih dari itu, kekerasan struktural juga berdampak luar biasa, jangka
pendek maupun jangka panjang.
Kombinasi
persoalan internal (keluarga) dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem
struktural membuat kehidupan anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang
tidak mudah diatasi. Sejak 1999, jumlah anak di jalanan Indonesia meningkat
85%. Di DKI Jakarta, misalnya, pada 2002 jumlah anak jalanan diperkirakan 150
ribu-300 ribu yang berasal dari sekitar Jabotabek (42%), Jabar (19%), Pulau
Jawa (27%), dan luar Jawa (12%).
Menurut
BPS, pada 2002 terdapat 3.488.309 anak telantar usia antara 5-18 tahun, balita
telantar 1.178.82 dan “anak nakal” 193.155 yang tersebar di 30 provinsi. Anak yang membutuhkan
perlindungan khusus 6.686.936 dan yang potensial telantar 10.322.674. Anak
usia13-15 tahun yang tidak sekolah juga meningkat 300%. Akibatnya terdapat 2-8
juta anak yang bekerja, di antaranya pada sektor berbahaya: pertambangan
ilegal, perdagangan narkoba, sektor alas kaki (industri sepatu), kerja malam,
dan pelacuran. Lebih parah lagi, sekitar 36,5 juta anak Indonesia masih di
bawah garis kemiskinan.
Situasi
di atas tentu sangat memprihatinkan. Berbagai upaya penanggulangan kekerasan
terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah, termasuk para pekerja sosial.
Masyarakat Indonesia modern ternyata belum sadar bahwa anak memiliki hak penuh
untuk diperlakukan secara manusiawi. Di sini, pemerintah sebenarnya punya tugas
yang tidak mudah. Pekerja sosial yang mengurusi masalah ini juga masih sangat
minim. Karena itu, sangat tepat jika buku ini secara khusus membahas pentingnya
gerakan perlindungan terhadap anak.
Buku
Kekerasan terhadap Anak disusun secara sederhana; yakni menjelaskan
pentingnya kita menjaga kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia yang
kondisinya sangat memprihatinkan. Melalui beberapa pendekatan analitis, buku
ini ingin mengajak kita agar menjauhkan anak dari bahaya-bahaya struktural
maupun kultural. Sekalipun data-data kekerasan terhadap anak di Indonesia tidak
banyak berbeda dari yang kita temukan di berbagai media massa, buku ini tetap
penting dibaca.Mungkin hal yang agak baru dari buku ini adalah tentang
pendekatan paradigmatik dari teori-teori baru berkaitan dengan masalah
kekerasan terhadap anak (child abuse). Anak, sebagai generasi bangsa
perlu dilindungi, dirawat dan diarahkan kehidupannya.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Setelah dijelaskan pada bab sebelumnya, kita
akan bisa mengetahui lebih banyak
mengenai Kekerasan Orangtua Terhadap Anak, untuk mendukung kegiatan tersebut
pemerintah melakukan tindakan seperti diadakannya UNICEF dan Komisi
Perlindungan Anak Pembahasan mengenai hasil penelitian tersebut akan dibahas
pada beberapa sub-bab berikut ini.
4.1
Pembahasan Mengenai “Kekerasan Orangtua Yang Tidak berpendidikan
Terhadap Anak”
Setiap anak Indonesia memiliki hak untuk dilindungi dari
bahaya, pelecehan, dan eksploitasi. UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk
membantu mengidentifikasi risiko yang mengancam anak-anak – seperti kekerasan
dan diskriminasi – dan kelemahan-kelemahan pada bidang seperti peradilan anak
dan kesejahteraan masyarakat. Bantuan teknis diberikan untuk
kementrian-kementrian utama dan lembaga-lembaga yang menangani isu-isu
perlindungan anak untuk memperkuat kapasitas dan kebijakan – misalnya dengan
mendukung Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, parlemen,
serta lembaga-lembaga penegak hukum untuk memperkuat perencanaan dan
implementasi dari undang-undang peradilan anak, dan melalui dukungan pada
lembaga-lembaga sosial untuk memperbaiki keterampilan dan pemahaman seluruh
pekerja sosial di seluruh pelosok tanah air untuk pemberian bantuan yang lebih
baik bagi keluarga rentan.
UNICEF bekerja sama
dengan Pemerintah Indonesia untuk membantu mengidentifikasi risiko
yang
mengancam.
UNICEF juga bermitra dengan
lembaga akademik ternama dari dalam dan luar negeri untuk membantu meningkatkan
penelitian dan data akurat mengenai isu-isu perlindungan anak, dan menyediakan
bimbingan bagi pemerintah tentang bagaimana memaksimalkan dampak penggunaan
sumber daya finansial dalam menciptakan struktur dan pelayanan perlindungan
anak yang efektif dan menjangkau keluarga yang paling rentan - di mana
tingkat ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan anak sering menjadi yang
tertinggi.
Peningkatan kesadaran masyarakat
serta pemahaman mengenai isu-isu berkelanjutan seperti kekerasan dalam
sekolah dilaksanakan melalui dukungan terhadap prakarsa perubahan perilaku,
dengan menyatukan berbagai pihak masyarakat untuk mengambil tindakan melawan
pelecehan-pelecehan tersebut. Anak-anak sering menghadapi risiko besar dalam
keadaan darurat dan melihat kerentanan Indonesia terhadap bencana alam yang
tinggi, UNICEF turut bekerja sama dengan lembaga atau instansi tanggap dan
siaga bencana / kedaruratan untuk memastikan bahwa isu-isu perlindungan cukup
mendapat perhatian di dalam kebijakan dan rencana mereka.
4.2
Aspek-Aspek
Kekerasan Pada Anak
Kekerasan yang terjadi pada anak bermacam-macam
jenis kasusnya, sehingga perlu pembatasan mengenai dan jenis-jenis kekerasan.
Kekerasan
terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu
kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan
emosi. Kekerasan
fisik adalah
apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada
badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja
terhadap badan anak.Kekerasan seksual adalah apabila anak
disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau
melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan,
film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang
memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta Perlindungan
Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk memenuhi keperluan utama anak seperti
pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak
dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari
bahaya sehingga anak terpaksa menjaga diri sendiri dan menjadi pengemis. Kekerasan emosiadalah
sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi mental
atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif
atau mal development.
Dari
pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah segala tindakan yang
dilakukan terhadap anak baik fisik maupun psikis yang merugikan anak, ataupun
karena diabaikan.
4.3
Sumber-Sumber
Pemicu Kekerasan pada Anak
Faktor-faktor penyebab yang menjadi stimulus
kekerasan (bullying) adalah feodalisme (senior/yunior), pubertas pada masa
remaja (pencarian jati diri), krisis identitas, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), ataupun kekerasan disekolah. Sumber-sumber
pemicu kekerasan terhadap anak bermacam-macam factor pencetusnya. Diantaranya:
1) Kemiskinan
Kemiskinan
adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Dengan
keadaan ekonomi yang memprihatinkan, banyak kebutuhan-kebutuhan anak menjadi
tidak bisa terpenuhi. Sehingga anak terpaksa atau dipaksa berkerja untuk
mencari nafkah. Kemiskinan, menurut kajian KPAID, adalah juga akar dari
masalah trafficking(dalam Hadi Supeno, 2007).
Karena kemiskinan, banyak orang tua memaksa anaknya bekerja. Lebih ironis lagi,
menjadikan anak sebagai pekerja seks komersial.
Pernikahan
anak dibawah umur, yang akhir-akhir ini, banyak terdengar, juga disinyalir
bermula dari keadaan ekonomi. Pernikahan dilakukan dengan iming-iming akan
memberikan sesuatu bagi keluarga (orang tua) si anak.
Kemiskinan
kemungkinan mempunyai korelasi dengan intensitas perlakuan kekerasan. Asumsi
ini diperkuat dengan fakta dilapangan bahwa sejak krisis ekonomi melanda
Indonesia, angka kekerasan kepada anak juga meningkat. Data yang perlu dicatat
pula bahwa, jumlah anak yang masuk ke Panti Asuhan, dan anak jalanan semakin
meningkat pula. Anak-anak yang tinggal dipanti asuhan dan yang hidup dijalanan
sudah dapat dipastikan adalah korban kekerasan. Pekerja anak dibawah umur,
anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus pedofilia, biasanya berasal
dari keluarga miskin, atau tidak memiliki keluarga. Bisa juga karena anak dari
hasil hubungan gelap yang tidak diakui oleh orang tua mereka, dibuang begitu
saja oleh orang tuanya dengan maksud menghindar dari tanggung jawab moral dan
hukum. Ada sebagian dari anak ini yang mengalami cacat fisik, karena sejak
dalam kandungan anak ini tidak diharapkan, sehingga orang tuanya berupaya
segala cara untuk menggugurkannya.
2) Stres
Banyak
teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan dapat terjadi, salah satu
di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family
stress) (dalam Indra Sugiarno). Stres dalam keluarga
bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
b. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan
kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada
umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun
juga merupakan salah satu penyebab stres.
c. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang
tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban
kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak
terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
d. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya
terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan,
dan keluarga sering bertengkar.
3) Pengetahuan orang
tua/pengasuh yang kurang
Pengatahuan
atau skill orang tua/pengasuh sangat berpengaruh pada bagaimana cara
berinteraksi dengan anak. Kebanyakan kasus kekerasan kepada anak banyak
disebabkan karena ketidak tahuan orangtua/pengasuh. Orangtua yang tidak
mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik, kemungkinan menganggap bahwa,
hukuman fisik, ataupun psikis yang kelewatan, itu biasa-biasa saja.
Orangtua
kadang tidak mengerti batas-batas kekerasan yang dilakukan terhadap anaknya
yang bisa ditolerir. Bagaimanapun juga, usia anak adalah usia imitasi yang
sangat dominan. Dengan perlakuan orangtua/pengasuh yang salah, dia akan
mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan objek imitasi yang dilihatnya.
4) Dorongan Seksual yang
tidak terkendali
Kekerasan
terhadap anak yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual. Kekerasan
seksual ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Biasanya anak yang
mengalami trauma kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual, ini
merupakan sebuah mata rantai yang harus diputus demi keselamatan generasi.
Kekerasan seksual ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dekat anak.
Kasus-kasus terakhir, lebih banyak dilakukan incest oleh
orangtua kepada anaknya, ataupun orangtua kepada anak tirinya, paman, kakek,
kakak ataupun yang lain, mempunyai hubungan dekat dengan anak. Kekerasan
seksual kepada anak ini semakin meningkat, seperti yang dilaporkan pada
kejadian di Amerika (Oprah, Metro TV, Tanggal 11 April 2009, jam 11 WIB). Kasus
yang terungkap hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya (fenomena gunung
es), bahkan pemunculan kasus baru melebihi jumlah kasus yang bisa ditangani.
5) Keberadaan anak yang
tidak diinginkan
Anak
yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, adalah salah satu dari korban
kekerasan. Orangtua yang tidak mengharapkan kehamilannya, sejak masih dalam
kehamilan, akan melakukan segala cara untuk melenyapkan si anak. Fakta yang
tidak bisa dipungkiri adalah penghuni panti asuhan kebanyakan adalah anak yang
tidak diketahui keberadaan orangtuanya.
Selain itu juga pemicu kekerasan terhadap anak yang
terjadi diantaranya :
-
Kekerasan dalam rumah
tangga, yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara lainnya
-
Disfungsi keluarga,
yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi
peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang
membimbing dan menyayangi.
-
Faktor ekonomi, yaitu
kekerasan timbul karena tekanan ekonomi.
-
Pandangan keliru
tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah
seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak
dilakukan oleh orang tua.
-
Disamping itu, faktor
penyebab kekerasan pada anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan
televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang
sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah
membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006).
4.4 Nasib Anak Terhadap Kekerasan
Pelaku
kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh sang suami, namun ada pula
yang didalangi oleh sang istri. Bagaimanapun peristiwa kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi, korban sesungguhnya adalah anak-anak mereka sendiri.
Kehidupan anak-anak mereka di kemudian hari akan menjadi serba ketakutan dan
tumbuh dengan pikiran yang diracuni dengan kekerasan.
Bagaimana
nasib anak-anak yang hidupnya di tengah-tengah kekerasan keluarga? Batin mereka
selalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Contoh kekerasan yang disodorkan
orangtua, secara tidak logis mendoktrinasi pikiran bawah sadar anak. Rekaman
kekerasan ini nantinya akan menjadi cerminan kehidupan mereka di masa depan,
terutama saat mereka berumah tangga dan mendidik anaknya.
Orangtua
bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin anaknya. Jika anak tumbuh
menjadi orang yang kuat dan berguna, maka itu adalah hasil usaha orangtua.
Sedangkan jika anak tumbuh menjadi orang yang menyusahkan maka orangtua harus
bertanggung jawab. Pada masa pertumbuhannya, anak memerlukan kasih sayang,
perawatan, dan perhatian orangtua. Tanpa kasih sayang dan bimbingan orangtua,
anak akan menjadi cacat secara emosional dan dunia akan menjadi tempat yang tak
bersahabat baginya untuk hidup.
Melimpahkan
kasih sayang bukan berarti memenuhi segala keinginan anak, baik yang perlu
maupun yang tidak masuk akal. Kasih sayang harus diberikan dengan sikap tegas
tetapi lembut dalam menghadapi anaknya yang ”ngambek”. Anak tidak
hanya memerlukan pemenuhan kebutuhan material, kuncinya pada kebutuhan rohani
dan mental. Berdasarkan prioritas perhatian dan kasih sayang pada anak, maka
mereka akan tumbuh menjadi orang yang berguna, jauh dari masalah mental dan
moral.
Umumnya
kekerasan dalam rumah tangga terjadi disebabkan suami dan istri tidak memahami
tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga. Bila suami dan istri memahami
tanggung jawabnya maka akan tercipta rasa saling pengertian. Kekerasan dalam
rumah tangga terpicu oleh kesalahpahaman yang kemudian diwujudkan dalam
tindakan. Hal ini menunjukkan kurangnya pengendalian diri. Orang yang dipenuhi
kemarahan tidak dapat melihat dengan jelas bagai dibutakan oleh asap. Jika
orang memperlihatkan kebencian akan membawa penderitaan bagi diri sendiri.
Karena orang yang sering dirasuki kemarahan dan kebencian, ibaratnya sedang
mengeluarkan racun dari dalam dirinya dan akan lebih melukai dirinya sendiri
daripada orang lain.
Kekerasan
dalam rumah tangga dapat diakhiri dengan belajar untuk mengerti peran
masing-masing dalam kehidupan berkeluarga dan belajar untuk bersabar terhadap
segala sesuatu. Kemarahan atau kebencian akan menuntun seseorang menuju rimba
yang tidak memiliki jalan setapak untuk dilalui. Kemarahan atau kebencian tidak
hanya mengganggu orang lain melainkan juga melukai dirinya sendiri dan
melemahkan jasmani serta mengganggu pikirannya. Kata-kata kasar yang kita
lontarkan ibarat anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak akan dapat
ditarik kembali walaupun kita persembahkan seribu permohonan maaf untuk itu.
Saat
kemarahan membelenggu berarti kita sedang bertempur dengan diri sendiri karena
diri sendiri adalah musuh terbesar kita. Semua berakar dari pikiran yang
merupakan teman terbaik sekaligus musuh terjahat kita. Oleh karena itu, kita
harus mencoba dan terus berlatih membunuh hawa nafsu, kebencian, dan kebodohan
yang terpendam dalam pikiran kita dengan menggunakan kesusilaan, pemusatan
pikiran serta kebijaksanaan.
Dengan
pengendalian hawa nafsu, maka berbagai penderitaan batin seperti dendam,
kebencian, serta iri hati akan pupus detik demi detik. Pupusnya penderitaan
tersebut akan memberikan kedamaian hidup.
”Barang
siapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak
bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu
yang dilempar melawan angin.”
4.5 Mencegah Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
·
Mencegah
Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
Anak
adalah anugerah. Sementara itu tak dipungkiri dalam membesarkan anak hari demi
harinya, orang tua bisa mengalami stress yang luar biasa. Mulai dari suara
tangis tengah malam, rewel, merengek, persoalan makan, toilet training, temper
tantrum, pekerjaan rumah yang harus dibereskan serta kekacauan rumah yang
tak pernah ada habisnya. Belum lagi masalah external, relationship dan tekanan
ekonomi, seringkali membuat hubungan orang tua dan anak berubah menjadi ledakan
besar. Kekerasan terhadap anak pun seringkali tak bisa dihindari.
Komnas
Perlindungan Anak mencatat 61,4% pelaku kekerasan adalah orang tuanya sendiri.
Bahkan tak jarang orang tua tega melakukan penganiayaan terhadap anaknya yang
di luar akal sehat manusia. Kondisi yang memprihatinkan ini bisa terjadi di
sekitar kita. Kita semua harus bertindak, kita juga turut bertanggung jawab
untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak, yang dimulai
dari keluarga.
·
Untuk Orang Tua
dan Pengasuh
Anak-anak
memerlukan makanan, tempat tinggal, pakaian dan terlebih dari itu semua, mereka
membutuhkan kasih sayang. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka istimewa dan
dicintai. Jadi, sebelum kehilangan kesabaran Anda, saran ini dapat membantu:
Ø Luangkan waktu untuk
diri sendiri. Ketika dihadapkan dengan persoalan hidup hingga pada titik puncak
merasa kewalahan atau nyaris di luar kendali, luangkan waktu untuk tenang
sejenak; jangan timpakan persoalan pada anak.
Ø Berpikirlah sebelum
bertindak. Misalnya jika frustasi dengan suara tangis bayi, jangan guncangkan
bayi dengan keras, karena akan mengakibatkan cidera atau kematian.
Ø Minta bantuan orang
lain. Menjadi orang tua tidaklah mudah. Telepon teman/saudara, mintalah bantuan
orang lain yang memahami tahapan perkembangan anak.
Ø Perhatikan acara
televisi dan games yang anak Anda lihat. Maraknya film kekerasan dan
program TV dapat membahayakan mereka.
4.6
Kekerasan
Pada Anak Menurut UU Perlindungan Anak
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
No 23 tahun 2002 :
Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi,
anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung
jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan
Anak (KPA) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang
dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu
mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti
orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
Batas-batas kekerasan menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 ini, Tindakan yang bisa melukai secara
fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada
anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada definisi,
segala tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan
berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak anak
untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain.
Perlakuan yang salah terhadap anak, akan
mendapat respon yang sama dari anak. Kebanyakan orang tua pelaku kekerasan
terhadap anak adalah karena dimasa kecilnya diperlakukan sama oleh orang
tuanya. Perlakuan ini akan masuk di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola
pengasuhan kelak. Jika hal ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang
pengasuhan anak yang sehat, kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya.
Pengasuhan anak membutuhkan suatu keterampilan khusus, berhubungan dengan
mereka membutuhkan kondisi emosi yang stabil.
4.7
Undang-Undang mengenai Anak
Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan Hak Anak
yaitu :
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang
tua, keluarga, masyarakat dan Negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak
kandungannya.
Pasal 53
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas
suatu nama dan status kewarganegaraan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik atau mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya
Negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya
dibawah bimbingan orang tua atau wali.
Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan
dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka
anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara,
dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau
walinya sampai dewasa sesuai dengan kententuan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua
angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagaimana orang tua
sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental penelantaran,
perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau
walinya atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak
tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pangasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan
buruk, dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari
orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada
alasan dan pemisahaan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat,
dan tikat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan
dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan persatuan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan
sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam
peperangan, sengketa, kerusuhan sosial dan peristiwa lain yang mengandung unsur
kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya,
sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial
dan mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak
serta berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotik, psikotropika dan zat aditif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak
dapat dijatuhi untuk pelaku tonak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum.
(4) Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak
hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang beraku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya akhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB V
KESIMPULAN
Masa
depan anak dan generasi, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh
peranan orang tua dan pengasuh di masa kecil anak. Orang tua ataupun pengasuh
yang efektif dalam pengasuhan anak untuk pemberian aspek afeksi bagi anak
sangat diperlukan. Komunikasi yang dibina dengan semaksimal mungkin akan
memberikan dasar terpenting dalam pendidikan anak.
Pendidikan
yang diberikan kepada anak, untuk membuatnya patuh dan taat, tidak selamanya
dengan memberikan hukuman fisik. UU PA No 23 tahun 2003 dengan jelas tidak
membenarkan adanya hukuman yang bersifat fisik maupun psikis yang berjangka
waktu lama (traumatis).
Berangkat
dari suatu mimpi, bahwa kebangkitan dari umat ini harus untuk membangun
peradaban yang mulia, maka jawaban dari semua ini adalah persiapan generasi
pengembang amanah. Pengembang amanah (khalifah/pemimpin) adalah manusia-manusia
yang berbudi luhur, berkepribadian tangguh, adalah syarat mutlak.Mustahil akan
lahir kucing dari perut anjing, dimana anjing akan membesarkan dan merawat
serta mengasuh anak kucing menjadi pemimpin yang berkepribadian amanah, ini
sangat mustahil. Tapi emas akan tetaplah emas, walau ia berada dalam lumpur.
Manusia
adalah khalifah dimuka bumi, dialah emas yang terpendam itu, yang diasuh oleh
induk ayam atau induk kambing. Induk
yang salah akan melahirkan generasi yang salah. Generasi yang unggul lahir dari
generasi yang unggul pula.
Dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang dialami seorang anak akibat faktor
ekonomi sehingga membuat anak menjadi depresi berat dan mengalami kekerasan
yang sangat parah hingga mengakibatkan si anak menjadi patah tulang. Dalam hal
ini komnas perlindungan anak sangat berperan dalam kasus ini, agar kasus ini
dapat bisa teratasi secara cepat dan dapat dicari solusinya dengan baik agar
tidak terulang kembali. Sadar atau tidak, apa yang diperbuat hari,
merupakan warisan untuk generasi masa depan. Anak-anak harus diselamatkan,
kunci utama kebangkitan generasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Djumhardjinis, 2012, pendidikan pancasila, demokrasi, dab
HAM, widya, Jakarta
Ø UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Ø H. Muchji, achmad, etalle, Pendidikan kewarganegaraan,
Gunadarma Jkt, 2004
Ø S. Soemarsono ( TIM LEMHANAS ), 2001 Pendidikan
Kewarganegaraan Gramedia, Jakarta
Ø Hartono, Dimyati, 2004, Pola dan Pembangunan NKRI, Zaman
restorasi sendiri, Jakarta